pengertian administrasi berbasis sekolah berdasarkan para sangat menguasai, hakekatnya ada 4 (empat) Prinsip-Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yakni: otonomi sekolah, fleksibilitas , dan partisipasi untuk mencapai target mutu sekolah.
Kata otonomi sanggup diartikan sebagai kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri (pengelolaan mandiri). Dalam hal prinsip pengelolaan sanggup bangkit diatas kaki sendiri dibedakan dari pandangan yang menganggap sekolah hanya sebagai satuan organisasi pelaksana yang hanya melaksanakan segala sesuatu berdasarkan pengarahan, petunjuk, dan instruksi dari atas atau dari luar.
Kemandirian dalam aktivitas dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang terus menerus berlangsung akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, contohnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Kaprikornus otonomi sekolah yakni kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/ menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan menentukan cara terlaksanakan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang dampak dan imbastif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Namun perlu digarisbawahi bahwa kemandirian tersebut tidak bersifat mutlak, absolut, atau semaunya. Kemandirian yang ada tetap harus bertolak pada ketentuan, peraturan. dan perundangan yang berlaku. Sebagai salah satu pola peningkatan mutu pendidikan di sekolah, guru sebagai profesional mempunyai keleluasaan untuk menerapkan kiat-kiat pembelajaran yang dampak dan imbastif untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
Fleksibilitas sebagai prinsip administrasi berbasis sekolah yang kedua sanggup diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang dimemberikankan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang ludang kecepeh besar, sekolah akan ludang kecepeh lincah dan tidak harus menunggu isyarat dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya.
Dengan prinsip fleksibilitas ini, sekolah akan menjadi ludang kecepeh responsif dan ludang kecepeh cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Seperti pada prinsip otonomi di atas, prinsip fleksibilitas yang dimaksud tetap mengacu pada kudang kecepejakan, peraturan dan perundangan yang berlaku. Contoh fleksibilitas yang sanggup dilakukan oleh seorang guru di sekolah yakni guru yang profesional mempunyai kewenangan untuk memilih, menentukan metode, alat dan sumber berguru yang ia yakini dampak dan imbastif untuk mencapai tujuan pembelajaran dan ia akan mempertanggungtpendapatkannya. Dalam konteks penyusunan program, masing-masing sekolah sanggup menentukan prioritas-prioritas aktivitas yang sanggup dilakukan sesuai kondisi masing-masing sekolah yang diubahsuaikan dengan lingkungan sekolah.
Dengan demikian, aktivitas dan penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, bahkan knorma dan susila alokasi anggaran yang dimiliki sekolah jumlahnya sama, tetapi pene kanan dan pemilihan prioritas sanggup berbeda. Prinsipini membuka kesempatan bagi kreativitas sekolah untuk melaksanakan upaya-upaya inovatif yang diyakini sanggup meningkatkan dampak dan imbastivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, terutama proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dampak dan imbastif, dan menyenangkan.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud yakni penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang renta siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara eksklusif dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, terlaksanakan, dan memperbaiki pendidikan yang dibutuhkan sanggup meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh akidah bahwa kalau seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungtpendapat dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah.
Intinya, makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung tpendapat; dan makin besar pula dedikasinya. Tentu saja melibatkan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus memperberat sebelahkan kesangat menguasaian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi yang diharapkan.
Demikian prinsip-prinsip administrasi berbasis sekolah dan klarifikasi singkat untuk masing-masing prinsip. Semoga memberi manfaat.
Kata otonomi sanggup diartikan sebagai kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri (pengelolaan mandiri). Dalam hal prinsip pengelolaan sanggup bangkit diatas kaki sendiri dibedakan dari pandangan yang menganggap sekolah hanya sebagai satuan organisasi pelaksana yang hanya melaksanakan segala sesuatu berdasarkan pengarahan, petunjuk, dan instruksi dari atas atau dari luar.
Kemandirian dalam aktivitas dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang terus menerus berlangsung akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, contohnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Kaprikornus otonomi sekolah yakni kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/ menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan menentukan cara terlaksanakan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang dampak dan imbastif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Namun perlu digarisbawahi bahwa kemandirian tersebut tidak bersifat mutlak, absolut, atau semaunya. Kemandirian yang ada tetap harus bertolak pada ketentuan, peraturan. dan perundangan yang berlaku. Sebagai salah satu pola peningkatan mutu pendidikan di sekolah, guru sebagai profesional mempunyai keleluasaan untuk menerapkan kiat-kiat pembelajaran yang dampak dan imbastif untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
Fleksibilitas sebagai prinsip administrasi berbasis sekolah yang kedua sanggup diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang dimemberikankan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang ludang kecepeh besar, sekolah akan ludang kecepeh lincah dan tidak harus menunggu isyarat dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya.
Dengan prinsip fleksibilitas ini, sekolah akan menjadi ludang kecepeh responsif dan ludang kecepeh cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Seperti pada prinsip otonomi di atas, prinsip fleksibilitas yang dimaksud tetap mengacu pada kudang kecepejakan, peraturan dan perundangan yang berlaku. Contoh fleksibilitas yang sanggup dilakukan oleh seorang guru di sekolah yakni guru yang profesional mempunyai kewenangan untuk memilih, menentukan metode, alat dan sumber berguru yang ia yakini dampak dan imbastif untuk mencapai tujuan pembelajaran dan ia akan mempertanggungtpendapatkannya. Dalam konteks penyusunan program, masing-masing sekolah sanggup menentukan prioritas-prioritas aktivitas yang sanggup dilakukan sesuai kondisi masing-masing sekolah yang diubahsuaikan dengan lingkungan sekolah.
Dengan demikian, aktivitas dan penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, bahkan knorma dan susila alokasi anggaran yang dimiliki sekolah jumlahnya sama, tetapi pene kanan dan pemilihan prioritas sanggup berbeda. Prinsipini membuka kesempatan bagi kreativitas sekolah untuk melaksanakan upaya-upaya inovatif yang diyakini sanggup meningkatkan dampak dan imbastivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, terutama proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dampak dan imbastif, dan menyenangkan.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud yakni penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang renta siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara eksklusif dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, terlaksanakan, dan memperbaiki pendidikan yang dibutuhkan sanggup meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh akidah bahwa kalau seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungtpendapat dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah.
Intinya, makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung tpendapat; dan makin besar pula dedikasinya. Tentu saja melibatkan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus memperberat sebelahkan kesangat menguasaian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi yang diharapkan.
Demikian prinsip-prinsip administrasi berbasis sekolah dan klarifikasi singkat untuk masing-masing prinsip. Semoga memberi manfaat.
Advertisement